Friday 21 July 2017

Ulasan Buku: Saksi Mata

Judul: Saksi Mata
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN:  978-602-291-190-6

Salah satu fungsi karya sastra adalah untuk merayakan kemanusiaan, atau sekurang-kurangnya menjadi penanda zaman tentang hal-hal yang berkenaan terhadap masalah dan konflik kemanusiaan. Banyak sastrawan yang mengangkat topik-topik terkait penindasan dan kekejaman terhadap suatu kelompok masyarakat dalam tulisan-tulisan mereka.

Dalam kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Aji (SGA) yang berjudul Saksi Mata, SGA menceritakan beragam kisah penderitaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat yang terjajah dan ditindas oleh serdadu pemerintah atau anggota militer yang dikirim ke daerah terkait untuk menekan pemberontakan.

Tiga belas cerita pendek yang terdapat dalam buku ini memiliki keterkaitan waktu dan lokasi yang dapat terlihat dari peristiwa-peristiwa serupa yang dialami oleh mereka serta nama-nama tokoh yang umumnya khas digunakan oleh masyarakat Amerika Latin yang beragama Katolik. Ketika banyak penulis modern sejak sekitar tahun 2010 baru memulai membuat kumpulan cerita pendek yang memiliki benang merah antara ceritanya, SGA telah melakukan ini sejak 1994.

Berdasarkan latar kisah dan tahun diterbitkannya kumpulan cerita pendek ini, banyak pendapat yang mengatakan bahwa kumpulan cerita pendek ini adalah kritik yang diutarakan SGA terhadap rezim Presiden Soeharto yang menindas Timor Timur pada masa itu.

Sebagaimana yang kita ketahui, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sedikit sekali pihak-pihak yang berani atau pun mampu bertahan setelah memberikan kritik terhadap pemerintahan beliau, termasuk jurnalisme yang sangat ketat pengawasan dan kontrolnya oleh pemerintah. Kumpulan cerita pendek ini bisa jadi merupakan bentuk keprihatinan dan peran sastra sebagaimana yang pernah dikatakan oleh SGA sendiri, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran.”

Membaca karya SGA ini, pembaca akan menemukan banyak tragedi dan ironi kemanusiaan yang terjadi. Bagi sebagian besar kita yang mampu membeli buku-buku dan memperoleh kehidupan sejahtera sejak lahir, khususnya terlahir dan tumbuh setelah era reformasi di lingkungan sosioekonomi menengah ke atas, pastinya tidak pernah terbayangkan bagaimana kejahatan terhadap kemanusiaan yang sebegitu kejinya dapat dan pernah terjadi.

Melalui karyanya ini, SGA seolah juga menunjukkan bahwa kemerdekaan jiwa raga itu mahal harganya—diperoleh setelah melalui pengorbanan banyak nyawa bertahun-tahun lamanya. Dia juga seolah menyampaikan bahwa kita manusia punya kecenderungan untuk menjajah manusia lainnya ketika kita merasa lebih superior dan berkuasa atas mereka, bahwa kita semua mewarisi sifat-sifat mengerikan manusia yang membuat kita terkadang merasa malu pada diri sendiri dan sejarah kemanusiaan kita.

Seluruh cerita pendek dalam buku ini mewakili pelbagai pengalaman kesedihan dan derita atas perjuangan yang dapat dialami oleh siapa pun. Sebagai penulis yang telah lama dan banyak menghasilkan karya-karya yang mengagumkan, SGA membuktikan bahwa Saksi Mata dapat menyentuh nurani kita sebagai pembacanya.

Judul buku ini diambil dari cerita pendek pertama yang ada di dalamnya. Ceritanya berkisah tentang seorang saksi mata yang tidak memiliki mata, yang akan bersaksi di pengadilan mengenai kekejaman-kekejaman yang menghabisi banyak nyawa dan membuat darah mengalir di seluruh jalan, tentang keberanian si saksi mata demi ditegakkannya keadilan, meskipun akhirnya dia harus kehilangan lidahnya.

Kisah-kisah yang mengikuti cerpen pertama seolah menjadi saksi itu sendiri mengenai perjuangan demi kebebasan yang sungguh berat, bahkan terlampau berat bagi siapa pun sampai-sampai beberapa tokoh di dalam cerita mengungkapkan bahwa mereka tidak butuh kemerdekaan itu, mereka hanya butuh keluarganya tetap tinggal dekat dan aman bersama mereka.

Buku ini sangatlah disarankan bagi semua orang untuk membacanya demi menumbuhkan rasa kemanusiaan yang dalam, agar selalu mengingatkan kita kepada nurani, agar kita juga menghargai kemerdekaan yang telah didirikan oleh pendahulu kita, serta mengingatkan kita kepada pentingnya peran sastra sebagai pengingat sejarah dan membangun peradaban.

1 comment: