Friday 21 July 2017

Ulasan Buku: Pandaya Sriwijaya

Judul: Pandaya Sriwijaya
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 978-979-1227-70-4

Seorang teman pernah berkata kepada saya, bahwa salah satu keinginan terbesarnya adalah diberikan kemampuan (entah dengan teknologi atau melalui keajaiban metafisis) agar dapat menjelajahi masa lalu secara utuh. Dia ingin membuktikan langsung kebenaran klaim-klaim historis yang hingga saat ini seringkali diperdebatkan dan dipergunakan sebagai landasan moralitas oleh banyak pihak. Mungkin baginya menarik jika kita bisa mengetahui beragam kejadian di masa lalu dan menjadikannya sebagai pengalaman dan pengetahuan kita yang utuh, kemudian memberikan pelbagai inspirasi kepada kita, misalnya untuk membuat novel.

Saya sendiri kurang setuju terhadap pendapat tersebut. Meskipun mengetahui kebenaran di masa lalu tanpa mencampuradukkan sejarah dengan kepentingan pribadi memang penting, tapi masa lalu yang dibongkar habis tidak akan menyisakan ruang bagi imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan yang seharusnya tidak terbatas.

Novel Pandaya Sriwijaya adalah sebuah karya fiksi yang mengambil latar belakang kisah kekalahan Raja Balaputradewa di pulau Jawa dan kembali ke tanah Sriwijaya di Sumatra. Di sana, raja yang bergelar Sri Maharaja memutuskan harus kembali membangun kekuatan Sriwijaya dengan mengadakan pemilihan Pandaya, yaitu pengawal istimewa kerajaan yang memiliki kemampuan bertarung yang hebat, agar bisa mempertahankan dan menjaga keutuhan kerajaan dari serangan-serangan luar atau pun pemberontakan.

Novel yang sarat akan pertarungan-pertarungan seru antara pendekar-pendekar di dalamnya ini dibumbui oleh kisah cinta, keluarga, persahabatan, drama ambisi dan kehilangan. Meskipun berlatar kerajaan Sriwijaya, pembaca tidak perlu khawatir akan merasa bosan seolah membaca buku pelajaran sejarah. Sebaliknya, kita sangat bisa menikmati kisah-kisah pertarungan yang seru dan mengharukan yang disajikan di dalamnya.

Hal yang menarik perhatian saya dari kisah novel ini adalah penggambaran pertarungan dan karakter serta wibawa tokoh antagonis yang mengingatkan saya pada kisah-kisah samurai dan konflik sejarah di cerita-cerita klasik Jepang (meskipun latar ceritanya adalah di Nusantara abad ke-7), sehingga membaca novel ini tidak terasa seperti membaca kisah-kisah kependekaran Indonesia yang umumnya ditampilkan seperti kisah-kisah Pandawa atau Jaka Tingkir yang penuh dengan kesaktian ajaib, melainkan kita bisa membayangkan kilatan-kilatan pedang yang saling beradu di udara dari tangan-tangan handal para pendekarnya.

Menurut saya, besar kemungkinan yang memengaruhi penulisnya dalam ide cerita novel Pandaya Sriwijaya sehingga mengingatkan saya kepada kisah-kisah klasik konflik pertarungan-pertarungan di Jepang adalah karena sebelumnya penulis membuat tiga novel dengan latar cerita yang berasal dari Jepang; tiga novel yang dibuat penulis sebelumnya adalah: Seven Samurai, Samurai Cahaya, dan Futatsu no Nagareboshi. (Penulis menggunakan nama pena “Hikozza” dalam ketiga novel tersebut). Hal ini adalah sisi positif tersendiri sehingga memberikan ciri khas pada novel Pandaya Sriwijaya yang jarang bisa ditemukan di novel-novel Indonesia berlatar sejarah lainnya.

Selain itu, yang juga menurut saya penting perlu diperhatikan dalam novel ini adalah gaya bahasa atau gaya penuturan penulis. Saya merasa bahwa gaya penuturan penulis sangat bisa dinikmati dan mudah diikuti. Penulis berhasil menyajikan prosa yang merupakan perpaduan lugas dan puitis, sehingga pembaca masih bisa memahami kisah tanpa perlu berpikir rumit sekaligus hanyut pada setiap adegan dan perasaan serta pengalaman tokoh-tokoh di dalam novel. Kekuatan deskripsi yang juga disajikan oleh penulis sangat membantu kita mendapatkan visualisasi setiap tempat dan adegan yang terjadi di dalamnya. Melalui penggambaran tanah Palembang sebagai lokasi Sriwijaya serta penggunaan nama-nama percampuran antara Sanskerta dan Melayu turut membuat seolah novel ini hidup

Bagi saya pribadi, karakter yang paling mengesankan bukanlah karakter-karakter utama, melainkan Magra Sekta, yang mencintai karakter perempuan utama yang bernama Agiriya. Magra Sekta harus hidup dengan kemampuan melihat masa depan pada mata gadis yang dicintainya, dan meskipun telah berusaha mencegah kematian Agiriya, akhirnya tetap harus kehilangan gadis tersebut. Melalui karakter ini saya merenung bahwa sekalipun kita mampu mengetahui masa depan, tapi pada akhirnya manusia akan selalu tunduk di hadapan takdir. Kesedihan atas kehilangan yang sudah ternubuatkan sebelumnya serta ketidakberdayaan diri yang dialami Magra Sekta untuk mengubah ketentuan takdir meninggalkan kesan mendalam yang sangat pribadi bagi saya.

Secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan bagi para pencinta fiksi khususnya sastra yang berlatar sejarah. Novel Pandaya Sriwijaya juga cocok dibaca oleh semua kalangan dan segala usia.

No comments:

Post a Comment