Monday 12 September 2016

Semangat Kemanusiaan dalam Tradisi Kurban


Pada hari raya Idul Adha bagi umat Muslim, selain merayakan peristiwa Haji, yang tak kalah pentingnya adalah memperingati kisah Nabi Ibrahim (Abraham dalam bahasa Ibrani di ajaran Yahudi dan Kristiani) dan Nabi Ismail (Ismael dalam bahasa Ibrani di ajaran Yahudi dan Kristiani) dengan berkurban.

Kurban, secara khusus dalam tradisi Islam, diartikan sebagai persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, atau unta pada hari Lebaran Haji). Tradisi ini merupakan bagian dari salah satu bentuk ibadah atau ritual keagamaan dalam Islam. Tak heran di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, setiap menjelang Idul Adha akan kita temukan banyak orang mendadak berjualan kambing dan sapi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Ada hal yang menarik dari hal ini, bahwa ternyata tradisi kurban tidak jarang dikritisi oleh banyak umat beragama lain — termasuk yang mengaku tidak beragama atau bertuhan — pun bahkan di antara kalangan umat Muslim sendiri. Mereka berpendapat bahwa ritual tersebut seolah menggambarkan Tuhan yang kejam karena meminta darah hewan untuk ditumpahkan sebagai bentuk pengabdian manusia kepada-Nya. Beberapa menganggap ini terkesan seperti tradisi paganisme.

Sekilas pendapat dan alasan ketidaksetujuan itu terkesan benar dan masuk akal. Pun demikian, sebelum mengambil kesimpulan terlalu cepat, ada baiknya kita bertabayyun (mencari banyak sumber referensi untuk mengklarifikasi kebenaran suatu hal) agar memahami makna di balik hari berkurban.

Apabila kita meneliti atau membaca banyak sumber sejarah, kita akan menemukan bahwa banyak peradaban-peradaban silam yang dalam sistem kepercayaannya mengharuskan suatu kelompok masyarakat untuk melakukan ritual penumbalan seorang manusia, khususnya anak-anak, untuk membuat Tuhan senang. Misalnya saja seperti dalam tradisi suku Inca dan suku Maya kuno.

Pada masa Babilonia kuno, tradisi menumbalkan anak-anak juga ditemukan dalam ritual kepercayaan mereka sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu artefak cylinder seal Babilonia dan disiratkan dalam kitab Imamat (teks asli berbahasa Yunani) di Alkitab Perjanjian Lama milik umat Kristiani.

cylinder seal Babilonia menggambarkan seorang anak yang ditumbalkan
Seperti yang kita ketahui, agama Islam menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim lahir dan tumbuh di kerajaan Babilonia ketika di bawah pemerintahan Raja Namrud (Nimrod dalam bahasa Ibrani). Karenanya, tidaklah mengherankan seandainya tradisi mengorbankan anak-anak ini mungkin masih ditemukan dalam lingkungan masyarakat tempat Nabi Ibrahim tinggal dan menyebarkan ajarah Tauhid.

Meskipun tidak dijelaskan secara mendetail dalam agama samawi manapun mengenai awal pergeseran ritual menumbalkan anak-anak yang berubah menjadi mempersembahkan hewan kurban untuk memuaskan Tuhan, namun kisah Nabi Ibrahim mengorbankan Nabi Ismail (atau mungkin Nabi Ishak menurut tradisi Yahudi dan Kristiani) yang lalu diganti menjadi seekor lembu oleh Tuhan adalah catatan pertama mengenai hal ini dalam agama samawi.

Melalui Parabel inilah, peradaban manusia, khususnya di kalangan umat dan keturunan Nabi Ibrahim, berkembang menjadi suatu sistem yang lebih menjunjung nilai kemanusiaan.

Meskipun saya sendiri tidak memeluk salah satu dari agama samawi manapun — dan apabila ayah saya suatu hari berkata saya harus disembelih karena perintah Tuhan, tentunya saya akan menolak — saya berpendapat kisah tersebut adalah sebuah prestasi dalam melindungi hak asasi manusia di zamannya, terlepas dari apakah kisah tersebut bermakna historis atau hanya simbolik.

Jika dalam Parabel kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut (yang apabila dihubungkan dengan tradisi sebelumnya yang menumbalkan anak-anak) memiliki makna menghentikan penumbalan manusia, maka narasi yang berbeda dapat kita temukan dalam tradisi kurban yang diperintahkan Tuhan melalui Nabi Muhammad.

Keislaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad memiliki ciri khas yang bukan hanya untuk menyembah Allah SWT, namun juga bertujuan perlahan-lahan menghilangkan kesenjangan sosial dan kemudian membentuk masyarakat madani, berbeda dari nabi-nabi sebelumnya yang lebih menekankan hanya pada aspek ketaatan dan tidak menyembah berhala.

Ini dapat terlihat dari bagaimana Nabi Muhammad secara perlahan menghilangkan tradisi perbudakan dengan anjuran-anjuran untuk membebaskan para budak yang dimiliki oleh masyarakat kala itu, serta menjadikan Bilal yang seorang budak sebagai umat Islam pertama yang mengumandangkan Adzan.

Nabi Muhammad juga seringkali menekankan tentang pentingnya sedekah dan kebersamaan. Wajar bila kita pernah mendengar Islam mengajarkan bahwa jika ada seseorang mencuri karena kelaparan, maka yang berdosa adalah anggota masyarakat — mereka yang bisa menikmati santapan di rumahnya — yang merupakan tetangga dari pencuri tersebut. Selain itu ini juga tercermin dalam Rukun Islam keempat tentang perintah berzakat.

Karenanya, dalam tradisi kurban, narasi yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah pula tentang sedekah, tentang bagaimana setelah melaksanakan kurban, maka kewajiban berikutnya adalah membagi-bagikan daging hewan kurban tersebut kepada orang-orang miskin, bukan untuk sekadar memuaskan Tuhan dengan menaati perintah-Nya. Bahkan dalam satu ayat Al-Quran, Al-Hajj ayat 37, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad menyebutkan:
"Tidak akan selama-lamanya daging dan darah unta (hewan kurban) itu mencapai (keridhaan) Allah. Akan tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan (ketulusan dan sifat berserah) kalian…"
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan peradaban yang dibawa oleh Nabi Muhammad sudahlah lebih maju dibandingkan dengan zaman Nabi Ibrahim. Permasalahan yang ada bukan lagi soal pengorbanan nyawa anak-anak, melainkan kesenjangan tingkat sosioekonomi dalam masyarakat. Tujuan yang dihadirkan pun sudah lebih dari sekadar hak untuk hidup, tapi juga hak untuk hidup sejahtera.

Meskipun terdapat nilai-nilai positif di dalamnya, ketidaksetujuan terhadap tradisi kurban seringkali ditunjukan dengan cara perbandingan terhadap tradisi dalam keyakinan lain, contohnya tradisi seperti membebaskan makhluk hidup yang terancam kehilangan nyawa (misalnya karena akan dijadikan bahan makanan).

Perbandingan seperti itu tidaklah setara karena tidak disertai analisis perkembangan antropologi dan isu sosial yang ada. Misalnya saja dalam Buddhisme, yang menyebutkan untuk sebisa mungkin menghindari pembunuhan makhluk hidup apapun. Lebih dari itu, dalam Kutadanta Sutta pada Digha Nikaya, Buddha menyebutkan bahwa kurban atau persembahan yang paling baik bukanlah dengan kurban makhluk hidup namun dengan bersedekah dan mengikis hawa nafsu.

Buddhisme lahir di wilayah yang ketika itu sudah banyak praktik pertapaan dan tidak sedikit masyarakat yang mencari kehidupan spiritual. Meskipun ada beberapa praktik pengorbanan hewan oleh sejumlah orang sebagai persembahan kepada Dewa, hal tersebut tidaklah dilakukan oleh semua kelompok masyarakat. Sebagian dari pertapa yang ada bahkan mengajarkan tentang ahimsa sebagaimana tercantum dalam Veda, yaitu tanpa sama sekali kekerasan terhadap makhluk hidup apapun, bahkan ada pula yang merupakan vegetarian.

Kondisi awal di antara keduanya yang tidak sama membuat perkembangan ajaran yang ada menjadi berbeda secara kontekstual sesuai dengan isu sosial dan budaya masing-masing. Adalah bijak bila kita menilai suatu tradisi dan ajaran tidak hanya menggunakan kacamata pribadi kita, namun juga kacamata dari tradisi dan ajaran tersebut.

Semoga Idul Adha membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang kurang mampu. Semoga semua makhluk berbahagia.

No comments:

Post a Comment