Monday 19 September 2016

Sastra di Tengah Budaya Sosialita

Also published in: http://www.qureta.com/post/sastra-di-tengah-budaya-sosialita September 18, 2016 

Artikel yang berjudul “Sastrawan Sosialita” yang dimuat oleh Koran Republika pada tanggal 8 Mei 2016 telah menarik banyak perbincangan hingga saat ini tidak hanya di kalangan para penulis, tapi juga kalangan pembaca (dan membuat si penulisnya menjadi cukup kontroversial). Ada begitu banyak argumen pro yang dilontarkan untuk mendukung pendapat si penulis artikel tersebut, namun tidak sedikit pula pembahasan dan argumen kontra dari kalangan penulis dan pembaca.

Karena sudah begitu banyak komentar dari berbagai pihak, cukup sulit menurut saya untuk menyampaikan opini agar tidak menjadi argumentum ad populum et hominem, khususnya mengingat tidak sedikit komentar-komentar baik melalui media sosial ataupun dalam diskusi-diskusi pribadi antara pembaca yang telah menyerang pribadi penulis artikel “Sastrawan Sosialita”.

Dalam era budaya populer, fenomena sosialita yang merupakan bentuk pergaulan baik oleh laki-laki maupun perempuan elit perkotaan untuk saling berbagi cerita sambil memamerkan kisah pencapaian hidupnya dan mengudap makanan di tempat-tempat yang menawarkan kenyamanan ruang maupun cita rasa hidangan seharusnya dipandang secara objektif sebagai perilaku manusiawi dan sekadar bentuk budaya baru.

Secara sosial, tidaklah salah apabila beberapa kawan duduk berkumpul berbagi kisah hidup sambil menikmati hasil jerih payah mereka sendiri, apalagi bila mengingat ternyata keseharian yang mereka jalani sehari-hari sangat menguras tenaga dan emosi.

Bukankah kita bisa memandang hal ini sebagai bentuk apresiasi diri dan penyegaran mental? Perkara hal tersebut bisa menimbulkan kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosioekonomi adalah persoalan sistem ekonomi kapitalisme, bukan psikososial para sastrawan.

Lebih jauh lagi, kiranya perlu kita bersikap adil terhadap para sastrawan atau seniman lainnya dengan memandang mereka sebagai manusia biasa yang juga suka bersosialisasi dan menikmati tempat-tempat hiburan dan kafe atau restoran mahal. Tidak ada standar baku bahwa menjadi seorang sastrawan adalah harus mengurung diri di kamar dan seorang introvert.

Tidak pula ada standar baku yang mengatur bahwa seorang sastrawan tidak boleh menghirup udara segar di luar kamarnya setelah menyelesaikan karyanya ataupun setelah letih menghadiri berbagai undangan seminar dan pekan gembira. Dalam bidang apapun itu, bersosialisasi, bertukar ide dan pengalaman, serta menikmati hidup adalah hak individu sekaligus kodrat manusia itu sendiri.

Bila kita mau melihat sisi positifnya, mengamati dan juga turut mengalami budaya sosialita itu sendiri justru bisa menjadi sebuah ide bagi sebuah karya sastra. Bukankah karya sastra, selain aspirasi dan fantasi yang dituangkan oleh seorang penulis, juga merupakan kritik sosial budaya yang bertujuan menginspirasi para pembaca dan kemudian menjadi sebuah kredo yang turut membentuk peradaban?

Apabila suatu karya sastra dapat mencerminkan peradaban di suatu zaman, maka mengamati budaya sosialita dengan terjun langsung ke dalamnya bisa menjadi suatu upaya untuk proses menulis kreatif, mungkin saja mendorong karya sastra Indonesia untuk berkembang ke model modernisme atau posmodernisme, tidak melulu poskolonial.

Peran Media Sosial dan Pekan Gembira

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel berita yang mengungkapkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya menghabiskan 0-1 judul buku setiap tahunnya. Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang rata-rata penduduknya menghabiskan 3 judul buku setiap tahunnya, atau negara maju seperti Jepang dengan rata-rata penduduk menghabiskan 10 judul buku setiap tahunnya. Meskipun disebutkan bahwa kendala utama adalah fasilitas membaca itu sendiri, tapi saya pribadi secara empiris melihat alasan lain.

Bagi saya dan beberapa orang yang saya kenal, minat membaca suatu judul buku seringkali ditentukan oleh seberapa jauh kami mengetahui bahwa buku tersebut memang menarik. Berbagai sebab menentukan terhadap menarik atau tidaknya suatu judul buku, khususnya konten karya dan pribadi si sastrawan sendiri.

Apabila saya mengetahui bahwa konten sebuah novel memang menarik bagi saya, atau saya mendengar dan membaca tentang rekam jejak dan pribadi yang unik dari si penulis novel, maka saya bisa berasumsi novel tersebut memiliki faktor intrinsik dan ekstrinsik yang baik. Pertanyaannya, dari manakah saya bisa secara efektif dan efisien mengetahui hal-hal tersebut apabila bukan dari publisitas oleh media sosial dan beragam pekan gembira (festival) sastra?

Meskipun ada beragam cara lain seperti rekomendasi teman atau resensi novel di media cetak agar saya bisa mengetahui faktor intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra, tidak ada salahnya memanfaatkan beragam sarana yang ada saat ini. Hendaknya kita memandang media sosial dan pekan gembira sastra sebagai kesempatan bagi para penulis dan pembaca untuk bisa saling mengenal lebih akrab, berinteraksi langsung dan karenanya mendorong minat baca yang lebih baik bagi penduduk Indonesia saat ini.

Lagipula, sastrawan yang gemar mempublikasikan foto-fotonya bukan berarti tidak terus berkarya dan tidak memiliki kedalaman karya. Pun tidak jarang di antara sastrawan Indonesia yang gemar mengikuti pekan gembira sastra adalah sastrawan-sastrawan yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing dan telah dikenal pula di luar Indonesia. Banyak peserta pekan gembira juga bangga bahwa ternyata sastrawan-sastrawan dalam negeri tidaklah “dinomorduakan” dalam kegiatan pekan gembira tersebut.

Mengapresiasi Karya Sastra

Apabila bukan karena ayah saya yang mengenalkan saya sejak kecil kepada beragam karya sastra, barangkali saat ini saya tidak pernah membaca karya-karya sastrawan klasik Indonesia seperti Arswendo Atmowiloto, Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, serta sastrawan populer seperti Dewi Lestari. Selain sastra Indonesia dan pertunjukan teater, ayah saya juga mengenalkan saya pada karya sastra Inggris seperti William Shakespeare.

Tumbuh dengan membaca beberapa karya sastra klasik, saya tidak jarang memandang novel-novel metropop dengan sebelah mata. Terhadap hal ini, ayah saya tidak jenuh mengingatkan saya sebagaimana dia dulu diajarkan oleh dosen-dosen Sastra Inggrisnya bahwa hendaknya semua karya tulis seni seperti novel, naskah drama, esai, puisi, dan semacamnya dianggap sebagai karya sastra juga meskipun berbeda genre.

Ayah saya mengajarkan bahwa semua karya tulis seni itu akan selalu bisa digali dan dianalisis secara sastra tak peduli apapun genre yang dimilikinya. Sebuah novel metropop teenlit sekalipun pasti punya alur cerita, klimaks, antiklimaks, penokohan, latar waktu dan tempat, serta faktor ekstrinsik seperti lingkungan dan pengalaman hidup penulisnya hingga karya tulis seni tersebut bisa hadir di tangan seorang pembaca dan menjadi bagian hidup dari si pembaca tersebut.

Sekalipun kita tidak menyukai karakter seorang sastrawan atau genrenya, sebaiknya kita objektif dalam menilai karya sastranya. Saya diajarkan untuk berlaku adil dalam menilai suatu karya seni apapun, meskipun ketika perkara selera saya tahu bahwa seni itu demokratis.

No comments:

Post a Comment