Sunday 21 August 2016

Tentang Dia dan Secangkir Kopinya

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Sore menjelang malam itu aku diundang makan di sebuah restoran oleh kenalanku yang berulang tahun. Tidak banyak yang dia undang, hanya 6 orang termasuk dirinya. Dia tidak memiliki banyak teman dan kenalan sehingga untuk sebuah makan malam ulang tahun jumlah 6 orang itu termasuk sedikit. Bahkan aku baru berkenalan dengannya 2 hari yang lalu. Seandainya aku menolak berarti hanya ada 5 orang yang hadir di acara itu.

Di acara makan itu, hanya ada dua orang yang sudah aku kenal, yang berulang tahun dan temanku yang dua hari sebelumnya mengenalkan aku pada yang berulang tahun. Tiga orang lagi aku baru saja berkenalan dengan mereka pada saat itu. Salah satu di antara mereka adalah seorang yang akan aku ceritakan dalam kisah ini, yang membuatku tertarik pada pertemuan pertama sehingga kami berkenalan lebih jauh setelahnya.

Sebelumnya aku perlu menjelaskan apa yang aku maksud dengan tertarik padanya dan bagaimana perkenalan kami pada sore menjelang malam itu. Tentunya aku perlu menegaskan bahwa pada hubungan kami berikut-berikutnya tidak ada afeksi ataupun romansa yang terjadi di antara kami, meskipun aku mesti akui bahwa sejak awal bertemu ada obsesi tersembunyi kepadanya, obsesi yang tidak bisa aku deskripsikan dengan mudah dan memang terkesan seperti perasaan suka, tapi aku tahu bukan sekadar itu.

Dia adalah seorang pria yang berwajah manis, bentuk mukanya lonjong, pipi dan dagunya tirus, rahangnya tidak lebar, bibirnya tipis, hidungnya tidak terlalu mancung, dan matanya berbinar. Rambutnya lurus jatuh ke depan, hitam lebat dan terpotong rapi. Kulitnya cukup putih. Dia lebih tinggi sekitar 2-3 sentimeter dariku. Ketika berbicara dia terlihat lugu, sedikit feminin tapi tidak kemayu, ada kesan dia menahan diri ketika berbicara, tapi dia berbicara dengan leluasa tanpa keraguan. Seperti diriku, dia selalu menatap lurus ke mata lawan bicaranya ketika sedang terlibat dalam percakapan.

Ketika itu dia datang dengan jaket coklat muda, dan selama makan pun tidak dia lepas. Baru setelah selesai makan dan kami masih berbincang, dia mulai membuka ritsleting jaketnya dan terlihatlah bahwa di balik gesturnya yang terlihat lembut ternyata dia cukup atletis. Bahunya lebar, lengannya memiliki massa otot yang tidak terlalu besar, dan dia memakai kaus tanpa lengan. Aku masih ingat warna kaus yang digunakannya ketika itu adalah campuran antara warna putih, biru muda, dan biru tua, campuran warna yang dapat menghadirkan nuansa lautan kepada siapapun yang melihatnya.

Kami duduk bersebelahan ketika itu. Entah apa yang menarikku, tapi selama acara makan malam itu aku hampir selalu mengobrol dengannya, menanyakan tentang dirinya lebih dan lebih lagi. Tentu aku tertarik pada penampilan fisiknya, tapi aku tahu ada aura tak kasat mata yang membuatku ingin tersedot jauh ke dalam dirinya. Kharismanya yang akhirnya membuatku terobsesi pada kepribadiannya, pada pedalamannya.

Dia memesan secangkir kopi panas tanpa gula dan krimer. Menurutnya, kopi seharusnya diminum murni tanpa tambahan pemanis atau susu. Hanya dengan begitu kita bisa memahami rasa dan latar belakang yang disampaikan oleh secangkir kopi. Aku tidak terlalu memahami apa yang dia maksud dengan latar belakang sebuah kopi, tapi aku adalah penyuka teh tanpa gula dan aku paham bahwa teh juga paling baik diminum tanpa gula atau tambahan apapun, dengan begitu rasa dan aroma teh yang menenangkan baru dapat kita hayati.

Dia menjelaskan, rasa dan aroma kopi ditentukan oleh beberapa faktor selain teknik penyeduhannya (yang memerlukan presisi dan akurasi waktu dan suhu air). Asal muasal tanah tempat suatu biji kopi dipanen, teknik pengeringan biji kopinya, pencampuran jenis biji kopi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, komposisi, perbedaan teknik penggilingan dan ragam teknik penyeduhan. Semuanya menghasilkan jenis rasa dan aroma kopi yang berbeda.

Penyimpanan biji-biji kopi juga akan mempengaruhi rasa sebuah kopi. Menurutnya, musuh dari kopi adalah oksigen, cahaya, panas, dan suhu udara yang lembab. Kopi harus disimpan dalam wadah yang tidak tembus cahaya dan temperatur udara yang kering dan statis. Menyimpan kopi dalam bentuk biji kopi penuh lebih baik karena akan mengurangi paparan terhadap udara.

Aku agak terkagum mendengarnya. Selama ini yang aku tahu hanyalah bahwa kopi itu pahit dan pekat. Teh juga pahit, tapi tidak sepekat kopi dan teh jauh lebih wangi. Aku hanya suka meminum kopi dari kafe yang menyediakan campuran kopi dengan beragam sirup manis dan susu, itu pun masih ditambah krim manis sebagai penghiasnya. Selain penggemar teh aku juga penggemar beragam kue keik, aku suka makanan manis dan karenanya aku tidak suka kopi yang bagiku jelas-jelas merupakan antagonis dari rasa manis.

Pria itu lanjut menjelaskan bahwa untuk memahami rasa dan aroma kopi ada seninya tersendiri. Tentu kopi itu pahit, tapi sesungguhnya tidak cuma pahit. Bisa terdapat rasa dan aroma coklat, karamel, aroma tanah, atau bisa juga aroma kacang-kacangan. Untuk mencicipi kopi kita perlu menarik diri sejenak dan bersikap tenang, menikmati beberapa detik seolah itu adalah selamanya. Pejamkan mata, hirup perlahan aromanya, rasakan uap panasnya mengembun di ujung hidung, lalu cucupi kopi panas itu perlahan dari cangkirnya. Sesampainya di lidah, biarkan rasanya terpropagasi ke seluruh indra pencicip, coba pahami apa yang kita temukan.

Caranya menjelaskan sungguh mengagumkan dan tampak anggun, seolah dia sendiri sedang berada di realitas yang dia ciptakan yang penuh dengan bermacam biji kopi, seolah dia sendiri secara magis memunculkan aroma dan rasa-rasa kopi itu dari mantranya. Terkadang dia menjelaskan sembari memejamkan mata, membiarkan dirinya sendiri terhisap ke dalam sebuah imaji di dalam kepalanya. Wajahnya tampak manis dan membuatku ingin semakin mendekat kepadanya, ikut tertarik ke dalam pusaran imaji yang dia ciptakan.

Ketika secangkir kopi panasnya datang, dia menunjukan kepadaku caranya menikmati kopi sebagaimana yang telah ia jelaskan sebelumnya. “Aroma tanah yang segar, dan ada rasa kacang-kacangan yang menari di lidah.” Sebutnya setelah meresapi rasa kopi dalam cangkir di genggamnya. Aku dimintanya untuk turut mencoba. Aku tirukan seperti yang dia telah contohkan, namun aku hanya bisa menemukan pahit. Wajahku langsung meringis karena pahitnya kopi yang baru saja aku cucup, sungguh aku tidak terbiasa dengan rasa pahit seperti itu. Langsung aku meneguk teh hijauku untuk menetralkan rasanya. Dia tertawa melihatku.

Sisanya, sepanjang makan malam itu, kami mengobrolkan beberapa hal lain seperti musik dan buku. Kebanyakan aku hanya menjadi pendengar ceritanya. Dia menceritakan bahwa dia menyukai beberapa penyanyi musik Jazz seperti Ella Fitzgerald dan Cab Calloway. Menurutnya ketika mendengarkan lagu-lagu Jazz, dia seolah dapat melihat masa lalu, terbawa ke suasana zaman sekitar 70 tahun lalu, ketika ada keceriaan bercampur kesulitan situasi sosial, bahagia bercampur tragedi, sebuah ironi hidup. Lagu favoritnya, menurutnya, cukup terkenal, yaitu Someone to Watch Over Me. Dia paling menyukai versi yang dibawakan oleh Frank Sinatra karena terdengar dibawakan dengan kesederhanaan.


Penulis favoritnya adalah James Joyce, seorang sastrawan kelahiran Irlandia yang hidup dari tahun 1882-1941. Dia menceritakan bahwa James Joyce bukan hanya seorang sastrawan yang mampu menulis novel dan cerpen, tapi juga membuat syair dan naskah drama. Joyce juga pandai bernyanyi dan bermain musik seperti piano dan gitar. Beberapa karya puisi dan prosa yang dibuat oleh Joyce seringkali memuat sisi musikalitas Joyce. Karya Joyce favoritnya adalah Finnegans Wake yang ditulis oleh Joyce selama 17 tahun, dan dalam dunia sastra dianggap sebagai salah satu karya fiksi tersulit dalam hal perbahasaan Inggris sepanjang sejarah.

Aku sungguh takjub dengan selera musik dan bacaannya. Belum pernah aku menemui seseorang di abad ke-21 ini yang sangat memperhatikan karya-karya di masa lalu. Tentu ada, hanya saja sangat jarang dan sulit untuk ditemukan. Jangan-jangan selera filmnya juga film-film kuno yang masih hitam putih? Jangan-jangan dia juga paham mengenai seni lukis dan pelukis-pelukis era renaissance? Usianya bahkan baru 25. Entah sejak kapan dia mendalami hobi-hobi arkaisnya itu.

Aku sempat bertukar kontak dan sosial media dengannya. Setelah malam itu kami masih berkomunikasi melalui aplikasi mengobrol, Whatsapp. Aku sungguh tersanjung dia mau berteman denganku yang tidak terlalu paham dengan hobi-hobinya itu.

Selanjutnya kami banyak mengobrol melalui Whatsapp. Suatu kali, karena penasaran, aku sempat menanyakan kopi favoritnya. “Kopi Toraja,” jawabnya. Tahu bahwa aku tentu mengharapkan elaborasi atas jawabannya, dia langsung menjabarkan, “Kopi Toraja memiliki campuran antara aroma tanah yang ringan dengan aroma herbal yang juga ringan, mengingatkan kita akan sebuah padang rumput yang luas di hari cerah, hidup yang tidak dipenuhi beban. Menghirup aromanya membuatku merasakan kebebasan.”

Aku yang tidak bisa membayangkan penjelasannya bertanya, “Apakah kopi tersebut tidak pahit? Apa agak pedas?”

Dia menertawaiku lalu berkata “Tentu saja pahit. Mana ada kopi yang tidak pahit?”

Aku tanyakan padanya mengapa dia suka sekali kopi meskipun tahu bahwa kopi itu pahit. Tidak peduli apakah terdapat rasa dan aroma kacang atau pedas sekalipun, tetap saja pahit.

Dia menjawab, “Bagiku, kopi itu bak sebuah refleksi hidup, sebuah sarana yang mengingatkan kita akan makna dan cara menjalani hidup itu sendiri. Melalui rasa kopi, aku belajar memahami hidupku. Mau mengakui atau tidak, baik itu tua atau muda, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, sebagian besar kisah hidup itu pasti pahit, tidak menyenangkan, dan lebih mirip sebuah elegi daripada dongeng anak-anak. Bayangkan jika kita bisa merasakan semua isi hati orang-orang di dunia ini, pasti lebih banyak dukacita daripada kebahagiaan, kan? Begitu juga kopi, lebih banyak pahitnya.”

“Tidakkah itu membuatmu terdengar seperti seorang pesimis dan skeptis? Dan kopi tetap lebih banyak pahitnya.” Ujarku padanya.

“Tunggu dulu, biarkan aku menyelesaikannya,” sanggahnya. “Meskipun hidup begitu penuhnya oleh kesulitan, tetap saja kita semua berusaha mencari kegembiraan di tengah-tengah itu semua. Tidak peduli apakah itu seorang budak atau proletar, entah bagaimana caranya selalu menemukan setitik keceriaan di sela-sela perjuangannya menjalani hidup yang penuh getir. Kita berusaha memahami hidup yang kita jalani dan menemukan faedahnya bagi kita sendiri atau mungkin orang lain. Lalu akhirnya tersadarlah kita, bahwa untuk bahagia, pertama-tama perlu menerima kepahitan dulu, merangkulnya, lalu memahaminya, menerimanya apa adanya tanpa berkesah. Hanya dengan begitu kita bisa melihat lebih jernih, merasakan bahwa ternyata selain pahit, ada juga ragam rasa lain dalam hidup.”

“Seperti kopi. Ada pedasnya, ada aroma coklatnya, ada kacang-kacangan, dan lainnya.”

“Tepat sekali. Kita perlu menarik diri sejenak dari keramaian, menghirup uapnya, lalu mencucup kopi selagi panas. Hanya dengan begitu kita bisa mengenali rasa selain pahit. Tenang, tanpa terburu, dan khidmat. Itulah hidup.”

“Jadi kau menyamakan minum kopi seperti meditasi?”

“Bisa jadi seperti itu,” jawabnya, dan aku bisa membayangkan dia sedang terkekeh di kamarnya. Tak lama dia melanjutkan, “Bukankah minum kopi juga membantu kita terus terjaga lebih lama? Kesadaran kita diperkuatnya. Setelah beberapa jam, kadar kafein dalam darah akan turun sehingga organ-organ tubuh akan merasakan relaksasi. Proses yang terjadi setelah minum kopi seperti filosofinya meditasi, bukan?”

Aku hanya bisa tertegun mendengar penjelasannya. Tidak pernah sebelumnya aku terpikir sejauh itu dari sekadar memesan minuman di kafe atau restoran, terlebih lagi minuman ini adalah kopi, yang selama ini aku anggap minuman pahit yang aku tidak paham mengapa banyak orang menyukainya. Kini aku mungkin menjadi pengagum rahasia kopi, meskipun tetap saja aku tidak kuat mencicipi kepahitannya.

*
Sejak berteman dengannya di sosial media, aku sering melihat-lihat status kirimannya serta jawab-menjawabnya dengan teman-teman sosial medianya di kolom komentar. Aku perlu mengakui bahwa seringkali dia menyampaikan pemikirannya yang tidak umum. Misalnya saja pendapatnya mengenai tidak pentingnya bermaaf-maafan di hari Idul Fitri karena seharusnya perilaku bermaaf-maafan diterapkan setiap hari, logika yang sama dengan tidak perlu merayakan hari Valentine karena kasih sayang seharusnya diterbarkan setiap hari. Meskipun berkesan kontroversial, aku merasa bahwa logika yang disampaikannya betul adanya.

Tidak jarang pula aku menemukan komentarnya yang mengkoreksi penggunaan diksi dan tata bahasa orang lain. Aku terkadang merasa bahwa dia mungkin adalah seseorang yang sangat cerdas dan berwawasan luas, namun memiliki superiority complex dan terkadang berkesan arogan. Pun begitu, aku tetap tak bisa berhenti untuk mengaguminya dan terobsesi dengan segala hal tentangnya. Mungkin superiority complex adalah atribut karakter semua orang cerdas dan berwawasan luas seperti dia. Apa yang aku tahu? Toh aku tidak cukup cerdas dan berwawasan luas. Anggap saja itu semua sebagai bentuk edukasi terhadap kebanyakan orang yang cuek dengan kebodohan sosial sehari-hari.

Diam-diam aku juga mulai belajar mengenai kopi, pergi ke kafe-kafe yang menyediakan bermacam ragam jenis kopi, berusaha memahami aneka rasanya, lalu mencoba mengkonsumsinya berbarengan dengan makanan ringan yang rasanya sepadan dengan kopinya agar tidak merusak rasa. Setelah 1,5 bulan aku berusaha, akhirnya mulai bisa melihat melalui kacamatanya. Memahami hidup melalui kopi.

Aku juga mendengarkan lagu-lagu yang pernah disebutkannya, Kuputar berulang kali hingga aku terbiasa dan hapal liriknya, bahkan bisa ikut menyanyikannya. Aku baca buku-buku yang dia sebutkan, pelajari latar belakang penulisnya. Aku pahami rasionalitasnya dari status-statusnya di media sosial.

Setelah tiga, atau mungkin empat, bulan berselang, dan aku masih sering mengobrol dengannya baik itu hanya lewat aplikasi mengobrol atau bertemu langsung sambil menjadi sesama penikmat kopi, aku tersadar bahwa pola pikirku menjadi semakin mirip dengannya. Aku bukan lagi sekadar menjadi pendengar, tapi turut melengkapi kalimat atau pendapatnya dalam percakapan kami. Kami bisa saling menyahut dan menimpali, seolah kata-kata yang keluar dari mulut kami berasal dari otak yang sama. Tidak jarang juga aku turut berpartisipasi dalam jawab-menjawabnya dengan orang-orang di kolom komentar status-status media sosialnya.
*
Suatu hari aku mengkontaknya melalui Whatsapp namun tidak dibaca olehnya. Telepon dan pesan singkat yang kukirim pun tidak dijawab olehnya. Sudah dua minggu kami tidak mengobrol dan bertemu, rasanya sepi karena kami sudah terlalu sering berinteraksi dan kini hanya dia satu-satunya teman yang kompatibel pemikiran dan hobinya denganku. Mungkin lebih tepatnya karena pemikiran dan hobiku sekarang sudah selaras dengannya setelah beberapa bulan aku pelajari semua yang dia suka dan pahami.

Baru kini aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang penting dalam hidupku, dunia seolah menjadi sunyi dan kosong. Mungkin aku masih memiliki teman-teman lainnya, tapi tentu tidak sama. Apakah ada tindakan atau ucapanku yang melewati batas sehingga dia menjauhiku dan tidak mau lagi berteman denganku? Mengapa aku larut dalam melankoli seperti ini? Jangan-jangan aku sungguh menyukainya? Padahal aku baru mengenalnya sekitar 6 bulan.

Selang tiga hari tiba-tiba ada sebuah paket yang diantarkan ke rumahku. Tidak tertulis paket itu berasal dari mana. Bersamaan dengan paket itu terdapat sebuah surat yang ditujukan kepadaku. Aku terkejut ketika mengetahui siapa si pengirim. Setelah 17 hari aku tidak mendengar kabar darinya sama sekali, akhirnya dia menghubungiku. Tapi mengapa dalam bentuk surat? Mengapa tidak dia kirimkan saja pesan singkat atau mengabariku melalui aplikasi mengobrol?

Maaf karena aku tidak memberi tahu terlebih dahulu soal kepergianku. Di balik ceria yang aku tampilkan ada begitu banyak kisah yang tidak pernah aku utarakan kepadamu. Aku senang perjumpaan dan pertemanan kita selama 6 bulan ini dipenuhi pelbagai rasa dan warna yang tidak terduga. Seperti kopi, bukan begitu?

Ya, seperti kopi pula hidup ini, sesungguhnya pahit dan bisa membuat lambung sakit. Hidupku pun tak terkecuali. Ketika kamu membaca surat ini, mungkin aku sedang sekarat, atau bahkan sudah tiada. Pun demikian, aku bersyukur karena di sisa terakhir hidupku, aku bertemu denganmu dan kita bisa menghabiskan waktu bersama.

Izinkan aku jujur, bahwa sejak pertama kita bertemu, aku menyukaimu. Kau yang memakai kaus abu-abu berbalut kardigan hitam, dengan matamu yang memiliki sorot tajam, rahangmu yang tampak tegas namun tidak terlalu besar, raut wajahmu yang lembut, aku terpana melihatmu, dan aku sangat senang karena ketika itu kau pun tampak antusias untuk mengobrol denganku. Sudah lama sekali aku tidak merasakannya, seperti kecintaanku pada kopi yang terkadang bisa membuat jantung berdebar, begitu pula bersamamu. Aku masih ingat secara tidak sengaja tangan kita bersentuhan pertama kalinya saat aku memberikan cangkir kopiku padamu untuk kau mencobanya; dadaku berdenyar di luar kebiasaannya.

Maaf karena selama ini aku tidak berani berterus terang. Lagipula, aku takut kau akan menjauhiku jika tahu keadaanku itu. Kau punya banyak teman-teman — tidak sepertiku yang hampir selalu sendirian — yang bisa jadi akan mencemoohmu kalau sampai ada apa-apa di antara kita. Lebih dari itu, pada akhirnya pun seperti sekarang ini, aku akan meninggalkanmu. Jadi aku selalu berkata pada diriku, bisa memilikimu sebagai teman dekat sudah merupakan anugrah terakhir yang lebih dari cukup bagiku.

Sejak kecil, hubunganku dengan orang tuaku tidaklah akrab. Sering sekali terjadi perseteruan antara aku dan mereka. Di sekolah pun aku tidak punya banyak teman, mungkin bisa dibilang sama sekali tidak punya kalau kita bicara soal teman dalam definisi seseorang yang memahami kita. Ketika menginjak usia 17 tahun, aku mulai mencoba masuk ke dunia pergaulan bebas yang menjerumuskanku pada rasa ketagihan yang hanya bisa dipahami oleh tubuh dan lembaran kulit. Ekstase yang kudapatkan mampu menghilangkan rasa nelangsa atas kesepianku dan kemarahanku pada orang tuaku. Aku tidak terlalu sering melakukannya, setidaknya 2 atau 3 bulan sekali. Lalu pada usiaku ke-22, akibat kecerobohanku, aku terinfeksi virus yang menyebabkan defisiensi sistem imun. Agak terlambat menyadarinya, namun setelah kuperiksakan dan memperoleh pengobatan, aku dapat bertahan hidup dengan kondisi kesehatan yang tampak normal.

Tepat sebelum bertemu denganmu, kondisiku memburuk. Tadinya aku sudah memutuskan untuk mengakhiri masa hidupku sampai malam itu saja, toh hidupku tak ada indah-indahnya, tapi karena dirimu, aku ingin setidaknya hidup sedikit lebih lama, apalagi ketika itu kau tampak ingin sekali memahami soal kopi. Benar saja, bertahan hidup karena dirimu ternyata menyenangkan. Pertama kali duniaku berputar dan pedalamanku mengalami musim semi.

Secangkir kopiku kini telah habis. Setelah bertahun-tahun bersabar merasakan pahit, akhirnya aku bisa menemukan jenis rasa dan aroma coklat dan karamel dalam kopiku. Dalam paket yang kukirimkan ada mesin espresso kesayanganku, juga CD Jazz dan buku-buku koleksiku. Aku akan sangat senang jika kau mau menerimanya. Simpanlah baik-baik, anggap saja sebagian dari jiwaku ada di dalam mereka.

Terimakasih telah mau menjadi teman terbaikku selama 6 bulan ini. Semoga kita bisa berjumpa lagi di kehidupan berikutnya.

Suratnya basah oleh air mataku yang tak berhenti menitik. Tak lama kemudian pemutar CD milikku memainkan lagu Misty oleh Ella Fitzgerald dari salah satu keping CD miliknya.

4 comments:

  1. krista@mail.postmanllc.net

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. ini pertama kali kucoba bikin cerpen dan menurutku jelek banget. Nanti kalau kumcerku udah terbit kamu bisa lihat deh bedanya tulisanku ini sama yang ada di buku. Lumayan jauh.

      anyway, thanks udah baca, Tian.

      Delete