Sunday 5 July 2015

Menyambut ASEAN Economic Community

Author: Liswindio Apendicaesar

Sebagaimana yang telah disepakati pada ASEAN summit di Bali pada Oktober 2003, akhir tahun 2015 ini program ASEAN Economic Community (AEC) akan mulai dilaksanakan. Ada banyak situasi baru dalam hal perekonomian yang ditawarkan melalui AEC, misalnya perdagangan bebas barang-barang antar negara di ASEAN, jasa pelayanan, dan tenaga kerja.

Melalui kesempatan-kesempatan tersebut, diharapkan berbagai keuntungan dan kemudahan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat ASEAN. Pengrajin barang dan makanan akan lebih mudah mendapatkan pembeli dan jumlahnya pun lebih banyak karena tidak hanya berasal dari negara sendiri. Persyaratan impor dan ekspor antar negara ASEAN tidak lagi rumit seperti sebelumnya. Masyarakat ASEAN pun diharapkan lebih mudah memperoleh pekerjaan karena lapangan kerja tersedia banyak di 10 negara ASEAN.

Namun demikian, kesempatan-kesempatan tersebut tidaklah datang tanpa risiko yang mungkin justru menimbulkan masalah yang lebih besar. Ada beberapa persoalan dari berbagai sisi ekonomi dan sosial yang perlu diperhatikan agar sistem AEC ini berlangsung baik.

Hal sederhana pertama yang perlu dipertimbangkan adalah persoalan nilai dari suatu barang dan jasa yang diperdagangkan lintas negara secara bebas. Hal ini akan bergantung kepada kekuatan nilai mata uang serta perbedaan parameter pendapatan dan pengeluaran tiap-tiap negara yang akan menyebabkan suatu barang atau jasa yang sama dan yang diproduksi oleh pihak yang sama tidak mungkin untuk tetap dijual dengan nilai yang sama untuk negara yang berbeda.

Apabila tidak terjadi penyesuaian terhadap harga barang dan jasa yang keluar masuk dari satu negara ASEAN ke negara ASEAN lain, maka harga barang dan jasa dari negara yang lebih kuat perekonomiannya akan menjadi lebih mahal bagi negara yang lebih lemah perekonomiannya. Berdasarkan teori equilibrium, meningkatnya harga menjadi lebih tinggi akan menyebabkan permintaan terhadap barang dan jasa menurun, terutama jika konsumen dari negaranya yang lebih maju memilih barang yang harganya lebih murah yang berasal dari negara lain. Hal seperti ini tentu saja akan membawa kerugian bagi produsen dengan harga barang yang lebih mahal.

Sementara itu, untuk menjaga kualitas maka biaya produksi tidak akan berubah sementara kebutuhan pengeluaran seseorang yang berasal dari negara yang lebih maju juga tetap lebih mahal daripada negara yang lebih lemah. Seandainya terjadi penyesuaian harga (yang berarti menjadi lebih murah), ini dapat menimbulkan kerugian bagi penyedia barang dan jasa dari negara yang lebih maju dari sisi pendapatan.

Pada sisi lain, penyedia barang dan jasa dari negara dengan perekonomian dan teknologi lebih maju mungkin akan memperoleh keuntungan apabila untuk kualitas yang lebih baik seseorang bersedia membayar lebih mahal, yang berarti ini akan membawa kerugian bagi penyedia barang dan jasa domestik di negara yang lebih lemah karena mereka akan kehilangan sejumlah pelanggan.

Kondisi ini mungkin dapat dihindari apabila AEC dijalankan seperti Uni Eropa yang memutuskan untuk memiliki mata uang yang sama, yaitu Euro, sehingga nilai barang dan jasa di setiap negara dapat disetarakan sehingga tidak perlu penyesuaian berdasarkan nilai mata uang yang berbeda.

Masalah berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah perbedaan sistem pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang berbeda antar negara. Jangankan membicarakan perbedaan sistem antar negara, bahkan pada negara yang sama, seperti Indonesia dan Filipina misalnya, masih banyak penduduk yang tidak memperoleh fasilitas pendidikan dan pelatihan ketrampilan secara setara. Apabila demikian, maka kesempatan untuk memperoleh pekerjaan akan lebih sulit dengan dilaksanakannya AEC bagi negara yang sistem pendidikan pelatihan ketrampilannya kurang memadai, padahal permasalahan angka pengangguran dan kemiskinan bagi negara-negara tersebut sudah cukup tinggi.

Bagi perusahaan domestik tentunya harus mempertimbangkan bahwa tenaga kerja dari negara yang lebih baik tingkat perekonomiannya dan sistem pendidikannya akan menuntut gaji yang lebih tinggi dibandingkan pada tenaga kerja domestik. Gaji yang harus dipertimbangkan bagi tenaga kerja luar negeri bukan hanya didasarkan pada keterampilan dan latar belakang pendidikan serta pengalaman, tapi juga standar gaji negara asalnya. Hal ini berpotensi menciptakan situasi kecemburuan sosial dan ketidakstabilan politik mengenai tuntutan masyarakat mengenai perlindungan ketenagakerjaan.

Lalu pertanyaannya, bagaimanakah dengan kita sebagai penduduk Indonesia? Apakah kita sudah siap menghadapi tingkat persaingan yang lebih sulit dalam ASEAN Economic Community nanti? Apakah kita sudah cukup terampil dan memiliki etos kerja yang baik? Apakah pemerintah kita sudah menyiapkan sistem dan protokol yang akan melindungi tenaga kerja Indonesia?

Edited by: Ruth Berliana
Image: Wikipedia 

No comments:

Post a Comment