Tulisan ini dipublikasikan di: Pijar Psikologi pada 11 April 2018
Banyak orang memiliki keinginan untuk menikah dan berumah tangga. Umumya, pasangan yang menikah menginginkan kehadiran anak dalam keluarga yang sedang mereka bangun. Namun demikian, sayangnya banyak orang yang tidak menyadari bahwa merawat dan membesarkan anak bukanlah hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik dan pendidikannya saja, tapi juga kebutuhan psikologisnya.
Tidak jarang kita menemukan kasus kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sendiri. Ironisnya, masyarakat kita masih menganggap hal ini sebagai lumrah. Padahal kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dapat mengganggu pertumbuhan psikologis dan karakter anak ke depannya, dan hal ini sangat memengaruhi kondisi anak ketika mereka beranjak dewasa. Karenanya, sesungguhnya sangat penting bagi kita, khususnya yang berencana berkeluarga dan memiliki anak, untuk mempersiapkan diri agar dapat memberikan pola asuh yang terbaik bagi anak kelak.
Pola asuh orang tua merupakan faktor penting yang sangat memengaruhi keadaan depresi pada anak dan remaja, baik itu menjadi faktor yang mencegah atau pun yang menyebabkan (Liem et al., 2010)[1]. Menurut Thornberry et al. (2010)[2], remaja yang terpapar oleh kekerasan dan diabaikan oleh orang tuanya cenderung berperilaku pemberontak, menggunakan obatan-obatan terlarang, dan menunjukan gejala depresi serta keinginan untuk bunuh diri di kemudian hari.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga berkorelasi dengan perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari. Sebagai contoh, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali. Sikap kasar dan ketidakmampuan mengendaikan emosi yang ditunjukkan oleh orang tua tertransmisikan kepada anak melalui interaksi; hal ini terjadi karena anak cenderung mengimitasi sikap orang tua yang mereka lihat (Chang et al., 2009)[3].
Menurut Gershoff (2008)[4], orang dewasa yang pernah mengalami hukuman fisik berupa kekerasan ketika masih anak-anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan atau anaknya sendiri, dan atau melakukan tindakan kriminal. Pada tahun, 2014, studi yang dilakukan oleh Straus et al[5]. menemukan terdapat hubungan antara hukuman fisik dengan beragam gangguan psikologis dan sosial, seperti meningkatnya sikap memberontak pada masa anak-anak dan remaja, menganggap tindak kekerasan sebagai hal lumrah, meningkatnya sikap impulsif dan kehilangan kendali diri, perilaku seksual yang berisiko ketika usia remaja, meningkatnya kecenderungan melakukan tindak kriminal ketika dewasa, kesulitan untuk lulus dari bangku kuliah, meningkatnya angka kejadian depresi, dan lain-lain.
Studi-studi yang telah dilakukan itu menunjukkan bahwa sesungguhnya keputusan untuk memiliki anak bukanlah perkara sepele yang bisa begitu saja diabaikan konsekuensi yang ada di dalamnya. Secara langsung dan tidak langsung, ternyata pola asuh orang tua bertanggung jawab dalam menentukan angka kasus kriminal di masyarakat dan angka kejadian bunuh diri.
Kita tidak lagi bisa berprinsip bahwa berketurunan dan membesarkan anak adalah sekadar hal normatif yang sudah sewajarnya dilakukan. Sudah seharusnya kita memberi perhatian lebih pada kesiapan kita menjadi orang tua yang baik apabila berkeinginan memiliki dan membesarkan seorang anak. Lebih baik menunda berkeluarga dan memiliki anak apabila kita tidak yakin siap dapat memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak dan dampaknya bagi masyarakat di kemudian hari.
Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang baik pun menunjukkan pengendalian diri dan perilaku sosial yang baik. Mereka dibesarkan tidak dengan kekerasan. Ketika anak-anak melanggar aturan, orang tuanya menerapkan disiplin yang adil dan konsisten. Orang tua yang demikian, karena bertindak sebagai panutan dengan menunjukan pemahaman emosional dan kontrol diri yang baik, maka anak-anak juga menjadi belajar untuk mengatur emosi mereka sendiri dan belajar bagaimana untuk memahami orang lain (Baumrind, 1991)[6].
REFERENSI:
1. Liem JH, Cavell EC, Lustig K. The influence of authoritative parenting during adolescence on depressive symptoms in young adulthood: Examining the mediating roles of self-development and peer support. The Journal of Genetic Psychology 2010; 171:73-92
2. Thornberry TP, Herny KL, Ireland TO, Smith CA. The causal impact of childhood-limted maltreatment and adolescent maltreatment on early adult adjustment. Journal of Adolescent Health 2010; vol 46(4):359-65.
3. Chang L, Schwartz D, Dodge KA, McBride-Chang C. Harsh parenting in relation to child emotion regulation and aggression. Journal of Family Psychology 2003 December; 17(4):598-606
4. Gershoff ET. Report on physical punishment in the United States: What research tells us about its effects on children. Columbus OH: Center for Effective Discipline; 2008
5. Strauss MA, Douglas EM, Medeiros RA. The primordial violence: spanking children, psychological development, violence, and crime. New York: Routledge; 2014
6. Baumrind D. Parenting styles and adolescent development. Dalam J. Brooks-Gunn, E. Lerner, A.C. Petersen (Eds), The encyclopedia of adolescence (pp. 746-758). New York: Garland; 1991
No comments:
Post a Comment