Sunday, 20 May 2018

Fenomena Thanos dalam Kehidupan Beragama

Gambar diambil dari: marvelcinematicuniverse.wikia.com
Hampir satu bulan merajai pasar bioskop di Indonesia dan juga dunia, Infinity War masih menyisakan perdebatan di antara para penggemar film. Beberapa teman menyatakan bahwa mereka kebingungan bagaimana harus bersikap terhadap film tersebut. Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa Thanos memiliki tujuan yang “mulia” untuk menjaga keseimbangan dunia dan agar tidak terjadi kepunahan dan kerusakan lingkungan sebagaimana yang telah terjadi pada planetnya, Titan, beberapa berpendapat bahwa tindakan Thanos adalah perbuatan yang terpuji dan heroik, terlebih lagi karena dia satu-satunya yang berani mengorbankan segala yang dia cintai untuk kebaikan alam semesta.

Sebenarnya narasi mengenai Thanos dalam Infinity War bukanlah sebuah narasi baru, alih-alih justru membosankan. Kita sudah sering menemukan narasi serupa di dalam kitab-kitab suci agama. Di sana kita sudah kenyang menemukan kisah-kisah Tuhan yang megalomaniak mengazab dan menghabisi manusia bukan cuma satu atau dua orang, melainkan satu kota atau bahkan satu bangsa dengan alasan bahwa keberadaan manusia-manusia tersebut membawa kekejian bagi dunia. Ketika Tuhan melenyapkan manusia-manusia tersebut, maka seolah kebaikan di dunia kembali terpelihara.

Dalam suatu acara televisi, Richard Dawkins pernah ditanya mengenai moralitas absolut yang tidak mungkin ditemukan apabila kita tidak beragama. Dawkins menjawab bahwa moralitas seharusnya tidaklah absolut, melainkan bisa diperdebatkan, bisa diargumentasikan dan haruslah rasional. Moralitas yang demikian adalah moralitas yang dinamis dan akan terus berkembang seiring dengan kemajuan peradaban dan nilai-nilai humanisme. Sedangkan moralitas absolut dalam narasi-narasi kitab suci tidak jarang mengizinkan kita membunuh atau melukai sesama dengan berbagai alasan, meskipun tidak bisa diungkiri banyak juga narasi-narasi tentang pengampunan dan cinta kasih. Alhasil, banyak dari kita yang bersikap tebang pilih dalam melaksanakan moralitas absolut yang dinarasikan dalam kitab suci. Hal ini bukan hal yang mengejutkan mengingat sebagai individu yang isi pikiran dan nurani kita bekerja secara spontan pasti akan heran dan mengkritisi narasi-narasi kekerasan dalam kitab suci tersebut.

Semakin nilai kemanusiaan kita berkembang, semakin sulit bagi kita untuk menerima kekerasan tersebut sebagai nilai moral. Banyak orang mulai mempertanyakan narasi-narasi bernada kekerasan dan diskriminatif yang dilakukan oleh Tuhan. Proses mempertanyakan ini diperkuat ketika aksi terorisme dan kekerasan lainnya atas nama agama semakin marak seperti peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Mako Brimob dan kasus bom bunuh diri di wilayah Surabaya. Korban-korban tak berdosa berjatuhan dan di antaranya adalah anak-anak.

Beberapa di antara mereka yang mempertanyakan “ayat-ayat pedang” ini berargumen bahwa tentu saja yang salah bukan kitab sucinya, melainkan interpretasi dari narasi tersebut karena banyak konten dalam kitab suci sesungguhya bersifat implisit dan puitis sehingga tidak bisa ditelan mentah-mentah, tapi harus ditafsirkan.

Melalui interpretasi dan penafsiran-penafsiran baru ini, Tuhan mulai digambarkan bukan lagi sebagai sosok yang diktator, otoriter, diskriminatif, gila hormat, dan main hakim sendiri. Misalnya, seorang teman muslimah pernah menjelaskan kepada saya bahwa alasan Nabi Muhammad diperintahkan untuk menghancurkan berhala-berhala dan mengajak penduduk Mekah menyembah Tuhan yang satu adalah bukan serta merta karena Tuhan pencemburu, tapi agar mempersatukan banyak suku di situ dan karenanya menghentikan persaingan dan perselisihan di antara suku-suku tersebut. Di sini Tuhan menjadi sosok yang bukan saja ilahiah tak tergapai, tapi juga membawa perdamaian dengan memahami kemanusiaan.

Semangat yang sama juga dapat kita temukan melalui ajaran Kristiani mealui kelahiran Yesus sebagai firman Tuhan yang hidup. Di sana terdapat narasi bahwa Tuhan tidak lagi menghakimi manusia secara membabi buta, tapi membuktikan bahwa Tuhan sungguh memahami penderitaan sebagai manusia.

Hal inilah yang sesungguhnya luput dari mereka yang mendukung perbuatan Thanos. Mereka menganggap bahwa populasi memang sudah tidak bisa dikendalikan dan membuat peradaban menjadi kacau, lalu membinasakan umat manusia secara acak yang diputuskan sepihak adalah penghakiman yang tepat. Mereka mengembalikan narasi Tuhan yang diktator dan tidak mau memahami sulitnya menjadi manusia sejak dalam pikiran. Sebuah narasi yang sudah ada sejak peradaban kuno dan tentunya sudah usang di zaman peradaban modern ini.

Sesungguhnya ini adalah pola pikir yang sangat berbahaya. Kita bisa lihat bagaimana “anak-anak Thanos” mematuhi perintah Thanos secara membabi buta dan menghasilkan banyak korban atas nama keselamatan bagi alam semesta. Berbeda dengan Gamora dan Nebula yang akhirnya sadar bahwa tindakan Thanos adalah salah.

Fenomena serupa bisa kita temukan dalam kehidupan beragama di Indonesia, khususnya di zaman sekarang ketika militansi dalam beragama semakin mengakar. Tidak jarang kita mendengar berita-berita persekusi bertebaran dan kata-kata “halal darahnya” di media-media sosial. Bahkan ketika mendapat kabar mengenai korban jiwa atas kasus terorisme yang terjadi, bukannya turut bersimpati, sebagian dari masyarakat justru bersikap seolah hal tersebut wajar dan sebagian lagi justru mendukung aksi terorisme tersebut. Orang-orang mulai menjadi “anak-anak Thanos” yang menganggap dirinya sebagai agen pembawa keselamatan ilahiah bagi dunia, khususya kepada yang tidak berkeyakinan sama.

Ada satu kesalahan besar dalam sikap umat beragama yang “menuhankan Thanos” tersebut, yaitu mereka lupa bahwa sikap diktator yang sewenang-wenang tersebut lahir dari sebuah trauma kehilangan planet dan orang-orang yang dicintai. Sikap seperti ini dapat banyak kita temukan pada orang-orang yang mengaku relijius dan berkhotbah demi kemuliaan Tuhan, tetapi sesungguhnya mereka hanya bertindak demi kepentingan diri sendiri.

Sedangkan penghakiman oleh Tuhan adalah berdasar cinta kasih dan pengampunan. Alih-alih dihakimi secara acak seperti yang dilakukan oleh para teroris bom bunuh diri, kita diberikan tuntunan dan kesempatan untuk memilih jalan hidup kita sendiri. Sesungguhnya Tuhan Maha Mengetahui, sedangkan Thanos tidak sama sekali.

Pemahaman Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Mengetahui hati seorang hamba inilah yang seharusnya ditanamkan paling mengakar dalam masyarakat kita guna mencegah penafsiran-penafsiran yang berujung pada aksi kekerasan dan terorisme. Penting bagi kita untuk senantiasa ingat bahwa sesama manusia tidak berhak sama sekali untuk saling menghakimi karena kita tidak memiliki kualitas-kualitas Tuhan tersebut.

Seyogianya kita berhati-hati ketika ada orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pembawa kabar keselamatan melalui ayat-ayat suci, apakah dia menyampaikan cinta kasih Tuhan yang sesungguhnya, atau dia menyampaikan sebuah ego megalomania dan kompensasi trauma masa lalu seperti Thanos. Jangan sampai kita akhirnya terpengaruh lalu menjadi alat penghancur bagi mereka yang hanya ingin mengincar kekuasaan dan pemenuhan ego.

No comments:

Post a Comment